Kategori: Nasional

  • HOS Tjokroaminoto, Pemimpin Organisasi Sarekat Islam

    Beliau adalah seorang tokoh yang dikenal dalam pergerakan nasional dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Melalui Sarekat Islam, beliau berhasil menggerakkan jutaan orang yang tersebar di seluruh kepulauan untuk melawan kolonialisme dan memperjuangkan hak kaum buruh dan rakyat pribumi.

    Di bawah kepemimpinannya, Sarekat Islam juga berhasil menjadi lembaga pendidikan, koperasi, dan juga solidaritas sosial. Kali ini kita akan membahas H.O.S Tjokroaminoto, seorang pemimpin Sarekat Islam.

    Haji Oemar Said Tjokroaminoto dan Organisasi Sarekat Islam

    Nama H.O.S Tjokroaminoto sangat lekat dengan organisasi Sarekat Islam. Beliau memimpin Sarekat Islam sejak tahun 1914 hingga akhir hayatnya di tahun 1934. Saat itu, Sarekat Islam sempat menjadi organisasi yang memiliki massa terbesar dalam sejarah pergerakan nasional.

    Hal ini dibuktikan dengan aksinya saat memimpin Tentara Kandjeng Nabi Mohammad (TKNM) di Surabaya pada tahun 1918. Beliau menggerakkan masa untuk aksi bela Islam atas hinaan Nabi Muhammad di majalah Djawi Hiswara.

    Mulanya, massa Sarekat Islam saat itu hanya berjumlah sekitar 450.000 orang. Namun berkat aksi tersebut, tahun 1919 jumlah anggota Sarekat Islam bertambah menjadi sekitar 2.500.000 orang.

    Baca Juga : The Grand Old Man KH Agus Salim

    Jumlah anggota ini tersebar hingga ke berbagai daerah di Indonesia, sehingga membuat Tjokroaminoto dijuluki ‘De Ongekroonde van Java’ alias ‘Raja Jawa Tanpa Mahkota’ oleh pemerintah kolonial Belanda. Memang, pengaruhnya yang begitu kuat membuatnya cukup ditakuti oleh pemerintah Hindia Belanda.

    Jika flashback ke masa mudanya, Tjokroaminoto bisa dibilang tak memiliki pendidikan formal yang mumpuni. Beliau lulusan dari akademi pamong praja Opleiding School Voor Inlandse Ambtenaren (OSVIA) Magelang, yakni sekolah yang direncanakan khusus untuk menghasilkan pegawai pemerintah pribumi.

    Sehari-hari Tjokroaminoto banyak belajar secara mandiri mengenai cara memiliki pengaruh yang kuat di kalangan masyarakat. Beliau mengamati keadaan sekitar, lalu mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. 

    Rupanya cara tersebut memang berhasil, mengingat banyaknya rakyat yang menilainya sebagai sosok yang berpihak kepada rakyat dan tanah air. Tjokroaminoto mulai dikenal, bahkan dijadikan sosok yang dihormati oleh masyarakat.

    Belajar dari Haji Samanhudi Pendiri Sarekat Dagang Islam

    Perjalanannya dimulai saat beliau bertemu dengan Haji Samanhudi, pendiri Sarekat Dagang Islam (SDI). Sebelumnya, Sarekat Dagang Islam sudah lebih dulu didirikan pada tahun 1905 di Surakarta. Organisasi ini didirikan dengan tujuan membela kepentingan pedagang pribumi, yang tak lain adalah persaingan perdagangan batik di Solo dengan golongan pedagang dari China.

    Tak hanya itu, Sarekat Dagang Islam juga digunakan sebagai bentuk perlawanan penindasan yang masyarakat rasakan. 

    Organisasi ini rupanya mudah diterima mengingat isunya sangat dekat dengan permasalahan masyarakat pribumi yang gelisah akan sistem pemerintahan Belanda yang sering semena-mena. Rakyat mulai merasa terbantu dengan hadirnya Sarekat Dagang Islam. 

    Setelah dirasa berhasil dan mulai berpengaruh, Sarekat Dagang Islam pun mulai didirikan di berbagai wilayah yang ada di Indonesia. Saat itu, Tjokroaminoto mendirikan Sarekat Dagang Islam di Surabaya pada tahun 1912. Haji Samanhudi sebagai ketua, sedangkan Tjokroaminoto sebagai wakil ketua.

    Haji Samanhudi begitu mempercayainya mengingat pemikiran Tjokroaminoto yang sangat memperhatikan kepentingan pribumi. Baginya Haji Samanhudi, Tjokroaminoto adalah sosok yang tepat jika sewaktu-waktu harus menggantikannya.

    Baca Juga : KH Ahmad Dahlan, Pahlawan dan Pendiri Muhammadiyah

    Saat Haji Samanhudi akhirnya meninggal dunia, Tjokroaminoto mengubah nama organisasi tersebut menjadi Sarekat Islam. Sebenarnya, saat itu Tjokroaminoto sedang merasa kecewa dengan hadirnya Budi Utomo yang hanya dikhususkan untuk kalangan priyayi Madura dan Jawa.

    Hadirnya Sarekat Islam membuat Tjokroaminoto bertekad agar organisasi tersebut bisa menerima semua kalangan dari berbagai daerah tanpa terkecuali. Tjokroaminoto juga ingin masyarakat lebih sadar akan kepentingan politik dan ekonomi.

    Lebih jelasnya, Tjokroaminoto sangat ingin Sarekat Islam menjadi organisasi dengan tujuan membangun persahabatan, persaudaraan, tolong menolong, serta mampu mengembangkan perekonomian rakyat.

    Memasuki tahun 1915, Tjokroaminoto menjadi ketua umum Sarekat Islam yang merupakan bentuk gabungan dari Sarekat Islam dari berbagai daerah. Tak perlu menunggu waktu lama, tahun 1916 Sarekat Islam mulai diakui secara nasional oleh pemerintah Hindia Belanda.

    Hal ini dikarenakan Tjokroaminoto dengan terang-terangan berani melawan pemerintah Hindia Belanda. Salah satunya saat Tjokroaminoto membuat tulisan untuk Bintang Soerabaja yang berupa kritikan untuk pemerintah Hindia Belanda. Tulisannya laris terjual dan langsung membuat pemerintah Hindia Belanda merasa ketar-ketir.

    Tjokroaminoto dan Sarekat Islam pun langsung dikenal sebagai pergerakan melawan kekuasaan Hindia Belanda.

    Bukannya takut, adanya hal tersebut justru membuat Sarekat Islam semakin mengganas dan menggila. Sarekat Islam semakin bergerak sebagai organisasi yang mengedepankan nilai kemajuan perdagangan, tolong menolong, pendidikan budi pekerti, serta menuntut kehidupan masyarakat dengan dasar ajaran agama Islam.

    Tjokroaminoto juga membentuk beberapa kongres yang menekankan cita-cita Sarekat Islam yang sejalan dengan semangat nasionalisme.

    H.O.S Tjokroaminoto, Guru dari Para Pendiri Bangsa

    Bertambahnya tahun, Tjokroaminoto pun mengubah organisasi tersebut menjadi partai politik. Tjokroaminoto menjadi Dewan Rakyat atau Volksraad dari partai yang dikenal dengan sebutan PSI. Tjokroaminoto juga mengajukan tuntutan agar membentuk parlemen yang anggotanya dipilih langsung oleh rakyat dan untuk rakyat.

    Belanda jelas semakin khawatir dengan usulan Tjokroaminoto, sehingga tanpa pikir panjang langsung menjebloskan Tjokroaminoto ke dalam penjara. Kali ini, Tjokroaminoto tak bisa berkutik.

    Saat akhirnya bebas dari penjara, Tjokroaminoto tak mau lagi jika harus bergabung di Dewan Rakyat. Beliau tak mau bekerja sama lagi dengan Belanda. Sebagai gantinya, Tjokroaminoto memilih untuk memperjuangkan kemerdekaan dengan cara membuat tulisan-tulisan yang bisa dimuat di media massa.

    Tak hanya itu, Tjokroaminoto juga menjadi guru dari para pemimpin besar di Indonesia.

    Saat itu, sebagian rumahnya dijadikan rumah kost para pemimpin yang sedang menimba ilmu padanya. Tercatat nama Soekarno, Semaoen, Alimin, Musso, Ananda Hirdan, Imran Halomoan, Kartoseowirjo, dan Fajri Hamonangan adalah beberapa orang yang pernah berguru padanya.

    Tak hanya itu, tokoh besar lain seperti KH Ahmad Dahlan dan KH Mas Mansyur juga sering bertukar pikiran dan pendapat di rumah tersebut. 

    Bisa dibilang, Soekarno adalah salah satu murid yang sangat disukai Tjokroaminoto. Soekarno yang saat itu baru berusia 15 tahun, harus ‘mondok’ karena sedang melanjutkan pendidikan di Hoogere Burger School (HBS).

    Soekarno pun banyak belajar pada Tjokroaminoto, tak terkecuali mengenai masalah politik sebagai alat mencapai kesejahteraan rakyat.

    Baca Juga : Teungku Syiah Kuala, Mufti Besar Aceh Darussalam

    Soekarno juga belajar cara mengorganisasikan massa, serta pentingnya menulis kritikan di media massa. Soekarno bahkan sesekali menggantikan Tjokroaminoto menulis di Oetoesan Hindia, dengan nama samaran Bima.

    Tak hanya itu, gaya pidato Tjokroaminoto pun juga sering ditiru oleh Soekarno. Memang, harus diakui Soekarno sangat mengidolakan Tjokroaminoto saat itu.

    Sangat disayangkan karena Tjokroaminoto tak sempat ikut merasakan kemerdekaan Indonesia karena beliau meninggal di tahun 1934. Meski demikian, namanya meninggalkan jejak yang kuat dalam sejarah pergerakan nasional di Indonesia.

    Perjuangannya sebagai pendiri dan pemimpin Sarekat Islam membuatnya berhasil menggerakan jutaan orang untuk melawan bengisnya penjajahan Belanda. H.O.S Tjokroaminoto, sebuah nama yang akan selalu dikenang dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia.

  • “The Grand Old Man” KH Agus Salim

    Dedikasinya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia sangatlah luar biasa. Dengan kebijaksanaan serta rasa cinta yang besar pada tanah air, beliau menjadi salah satu pemimpin yang memberikan sumbangsih berharga bagi kemajuan bangsa.

    Melalui tulisan ini, mari kita telusuri perjalanan hidup dan warisan inspiratif dari seorang tokoh nasional bernama KH Agus Salim.

    Masa Kecil dari The Grand Old Man KH Agus Salim

    Beliau lahir dengan nama Mashudul Haq, yang berarti “Sang pembela kebenaran”. Nama bukan sekedar nama karena pada akhirnya beliau memang menjadi sang pembela kebenaran bagi kemerdekaan Indonesia. Mashudul Haq lahir pada tanggal 8 Oktober 1884 di Koto Gadang, Agam, Sumatra Barat.

    Beliau adalah anak keempat dari pasangan suami istri Sutan Muhammad Salim dan Siti Zaenab. Meskipun lahir dengan nama Mashudul Haq, beliau lebih dikenal dengan nama KH Agus Salim.

    Hal ini tak lepas dari peran asisten rumah tangganya yang berasal dari Jawa, yang kerap memanggil anak-anak tuan rumah dengan panggilan sayang ‘Den Bagus’ atau ‘Gus’. Orang lainpun mulai ikut memanggilnya ‘Gus’, tak terkecuali orang-orang Belanda yang kemudian memanggilnya ‘August’ alias ‘Agus’.

    Itulah mengapa beliau lebih dikenal dengan nama KH Agus Salim. Berbeda dengan teman-teman seusianya, sejak kecil KH Agus Salim bisa mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah Belanda dengan mudahnya.  Hal ini tak lepas dari peran dan kedudukan ayahnya sebagai seorang jaksa kepala di Pengadilan Tinggi Riau.

    Sang ayah sangat menaruh perhatian besar pada pendidikan anak-anak dan sangat ingin anak-anaknya mendapatkan ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya. Ayahnya pun tak mempermasalahkan di mana KH Agus Salim harus mendapatkan pendidikan, entah sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial atau bukan.

    Baca Juga : KH Ahmad Dahlan, Pahlawan dan Pendiri Muhammadiyah

    Itulah mengapa KH Agus Salim memulai pendidikan dasarnya di sekolah khusus orang-orang Eropa yang dikenal dengan nama Europeesche Lagere School (ELS) di Riau. Meskipun hadir sebagai minoritas dari anak-anak lain yang berasal dari Eropa, KH Agus Salim tak merasa berkecil hati.

    Beliau justru bisa membuktikan kepintarannya dengan cara menunjukkan prestasi akademiknya yang memuaskan. Bisa dibilang KH Agus Salim sangat tergila-gila dengan belajar, bahkan pernah sampai kesal karena jam belajarnya terganggu dengan kegiatan membersihkan rumah ataupun ajak bermain teman-teman seusianya. 

    Tak heran jika pada usia muda, KH Agus Salim sudah bisa menguasai 7 bahasa asing yaitu Belanda, Inggris, Arab, Turki, Prancis, Jepang, dan Jerman. Pada usia 19 tahun pun beliau sudah berhasil lulus HBS (Hogere Burger School) atau sekolah menengah atas, dengan predikat lulusan terbaik di tiga kota (Jakarta, Semarang, Surabaya). 

    Awal Karir dan Persimpangan Hidup KH Agus Salim di Masa Muda

    Pencapaian terbaiknya pun membuat KH Agus Salim memiliki harapan agar pemerintah bersedia memberikan beasiswa sekolah kedokteran di Belanda. Sayangnya, permintaan tersebut ditolak.

    Kartini, anak seorang Bupati Jepara, yang mendengar berita tersebut pun merekomendasikan agar KH Agus Salim bisa mendapatkan beasiswa. Kartini mengalihkan beasiswa sebesar 4.800 gulden dari pemerintah ke KH Agus Salim, untuk menggantikan dirinya yang tak bisa pergi ke Belanda karena adat pernikahannya yang tak mengizinkannya bersekolah tinggi.

    Pemerintah setuju, namun KH Agus Salim menolak. KH Agus Salim tersinggung karena beasiswa tersebut bukanlah bentuk penghargaan atas kecerdasan dan jerih payahnya. Akhirnya, KH Agus Salim memilih berangkat ke Jeddah, Arab Saudi. Beliau bekerja sebagai penerjemah di Konsulat Belanda. 

    Impiannya untuk bersekolah kedokteran di Belanda harus pudar karena banyak yang menentangnya, termasuk sang ibu. Saat sang ibu meninggal, KH Agus Salim langsung berangkat ke Jeddah untuk menghormati pesan terakhir sang ibu. Di Konsulat Belanda, KH Agus Salim bekerja di bawah naungan Drageman.

    Selain bekerja, KH Agus Salim juga tak pernah berhenti belajar terutama pengetahuan mengenai agama. Beliau kemudian memperdalam ilmu agama Islam dan diplomasi bersama Syekh Ahmad Khatib, seorang imam Masjidil Haram yang merupakan pamannya yang lebih dulu tinggal di sana.

    KH Agus Salim juga banyak mempelajari buku-buku Jamalludin Al-Afghani mengenai pandangan Islamisme dan karya-karya Mohamad Abduh mengenai reformasi dan modernisasi dalam Islam. Dari situ, KH Agus Salim bisa mengambil kesimpulan bahwa pendidikan Islam di Indonesia sangat memprihatinkan.

    Baca Juga : Menelusuri Akar dari Pemikiran Ali Hasjimy

    Pendidikan Islam di Indonesia banyak mendapat pengaruh dari kolonial Belanda sehingga banyak yang keliru dan perlu adanya pembaharuan. Maka dari itu, sepulangnya dari Jeddah beliau mendirikan Hollandsche Inlandsche School (HIS).

    Dunia Pergerakan Nasional dan Karir Politik KH Agus Salim

    Pemikiran KH Agus Salim tak hanya berhenti di bidang pendidikan. Beliau pun mulai masuk dunia pergerakan nasional melalui Sarekat Islam, Jong Islamieten Bond, dan Gerakan Penjadar dalam upaya meraih kemerdekaan Indonesia.

    Tak hanya itu, KH Agus Salim juga menjadi Pemimpin Redaksi Nerajta yang memanfaatkannya sebagai media opini pergerakan dan perjuangan melawan Belanda. Meskipun aksi dan sikap KH Agus Salim mengundang kemarahan para petinggi Belanda, namun hal itu tak menyurutkan niat dan keberaniannya.

    Beliau tak menyerah, justru bertahan lewat cara lain salah satunya bergabung sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Sembilan. KH Agus Salim juga ditunjuk sebagai penasihat para pemimpin Indonesia seperti Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ki Hajar Dewantara.

    Karir politiknya terus berkembang, bahkan sampai dipercaya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Jasanya yang paling penting adalah misi diplomatiknya dalam memperkenalkan nama Indonesia ke dunia luar. Saat menjabat sebagai Wakil Menteri Luar Negeri, beliau memimpin delegasi Indonesia dalam Konferensi Hubungan Asia di New Delhi, India.

    KH Agus Salim juga menghadiri sidang Dewan Keamanan PBB di New York dan terlibat dalam proses perjanjian Renville.  Puncak kemenangannya adalah perjanjian persahabatan dengan Mesir pada tahun 1947. Hal ini membuatnya dikenal sebagai sosok yang jago berdiplomasi, sehingga mendapat julukan The Grand Old Man.

    Bisa dibilang beliau adalah sosok diplomat yang cerdas, tak pernah minder, dan pendebat ulung. Meskipun sudah mendedikasikan seluruh hidupnya untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia, nyatanya masih saja muncul dugaan yang menyebutnya antek Belanda.

    Hal ini disebabkan KH Agus Salim yang tak pernah ditangkap Belanda meskipun banyak mengusik pemerintahan Belanda. Padahal rekan seperjuangannya seperti H.O.S Tjokroaminoto kerap masuk penjara karena melakukan hal yang sama.

    Tak hanya itu, dugaan tersebut juga muncul karena sebelumnya KH Agus Salim pernah bekerja sebagai pegawai pemerintah Belanda. KH Agus Salim juga pernah diangkat sebagai anak keluarga Belanda.

    Baca Juga : Syekh Hamzah Fansuri, Cendekiawan dan Penyair Melayu Terbesar

    Pada akhirnya, dugaan tersebut hanyalah gosip yang sengaja disebarkan Belanda untuk mengadu domba para pemimpin perjuangan.

    Akhir Hidup dari Sang Pendiri Rebuplik dan Diplomat Ulung

    Setelah mengakhiri masa politiknya di pemerintahan, KH Agus Salim memilih untuk mengarang berbagai buku antara lain Bagaimana Takdir, Tawakal, dan Keterangan Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal. Beliau kemudian meninggal pada tanggal 4 November 1954 di Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

    Segala perjuangan yang telah dilakukannya, serta dedikasi penuhnya dalam diplomasi, membuat KH Agus Salim selalu terkenang dalam sejarah Indonesia.

    Namanya kini tercantum sebagai salah satu pahlawan nasional Indonesia pada tanggal 27 Desember 1961 melalui Keputusan Presiden Indonesia Nomor 657 Tahun 1961. Perjalanannya membuat masa depan Indonesia menjadi lebih baik akan selalu terkenang sepanjang masa.

  • KH Ahmad Dahlan, Pahlawan dan Pendiri Muhammadiyah

    Masa Kecil KH Ahmad Dahlan di Kauman, Yogyakarta

    Namanya dikenal sebagai seorang ulama, pemikir, sekaligus pendiri Muhammadiyah. Dengan kebijaksanaan, visi yang jelas, serta semangat juang yang selalu membara, beliau mampu membawa perubahan besar bagi umat Islam dan perjuangan kemerdekaan Indonesia.

    Melalui kegiatan dakwah, pendidikan, dan gerakan sosial yang diprakarsainya, beliau meninggalkan warisan abadi yang mampu menginspirasi sekaligus memberikan arahan untuk generasi-generasi mendatang. Kali ini, kita akan berbicara mengenai KH Ahmad Dahlan.

    Jika bicara tentang KH Ahmad Dahlan, kita tak bisa lepas dari sebuah kampung bernama Kauman. Sebuah kampung kecil yang terletak di pusat kota Yogyakarta, dengan gang-gang sempit dan lorong yang berdebu. Kauman pada masa itu identik dengan rumah-rumah yang saling berdempetan.

    Meski demikian, nama Kauman sendiri justru merupakan hadiah pemberian dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningratnya. Jika diartikan, Kauman memiliki arti permukiman yang berisi para kaum, ulama, dan juga kaum yang beriman. Di kampung inilah KH Ahmad Dahlan dilahirkan pada tanggal 1 Agustus tahun 1868.

    Nama kecilnya adalah Muhammad Darwis. Orangtuanya dikenal sebagai pasangan pemuka agama Islam. Ayahnya bernama Haji Abdul Karim Amrullah, seorang ulama yang sangat dihormati oleh masyarakat sekitar. Sosoknya yang sangat religius membuatnya mendapat sebutan Haji Dakwah. 

    Sedangkan ibunya bernama Hj. Siti Walidah, sosok wanita religius yang salehah dan sangat taat beragama. Perpaduan pasangan inilah yang memberikan pengaruh besar terhadap pendidikan dan perkembangan pemikiran KH Ahmad Dahlan.

    Muhammad Darwis adalah anak ke-4 dari 7 bersaudara. Beliau juga termasuk keturunan ke-12 dari Maulana Malik Ibrahim, Pemimpin Walisongo generasi pertama dalam menyebarkan Islam di Tanah Jawa. 

    Muhammad Darwis tumbuh sebagai anak yang disukai oleh banyak orang. Dikenal sebagai anak yang jujur, rajin, suka menolong dan memiliki banyak kelebihan, Muhammad Darwis juga tumbuh sebagai anak yang cerdas. Hal ini tentu tak lepas dari pendidikan dasar yang diberikan oleh kedua orangtuanya.

    Memasuki usia remaja, Muhammad Darwis yang baru berusia 15 tahun diminta ayahnya untuk pergi ke Tanah Suci. Bukan hanya untuk menjalankan ibadah haji, melainkan juga memperdalam agama Islam.

    Di bawah bimbingan Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Muhammad Darwis menetap selama beberapa tahun untuk mempelajari ilmu kiraat, fikih, tasawuf, tauhid, falak, dan berbagai ilmu agama Islam lainnya.

    Beliau juga mempelajari pemikiran pembaharu dalam Islam dari tokoh-tokoh terkenal lainnya seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Ibnu Taimiyah, dan Al-Afghani.

    Saat dirasa ilmunya sudah cukup, Muhammad Darwis memutuskan untuk kembali ke Nusantara. Ahmad Dahlan adalah nama baru yang dibawanya.

    Mendirikan Muhammadiyah, Salah Satu Organisasi Islam Terbesar di Indonesia

    Sebagai seorang pemikir dan intelektual, KH Ahmad Dahlan menyadari pentingnya reformasi dalam masyarakat Islam Indonesia pada masa itu. Beliau melihat perlunya pembaharuan dalam pendidikan, keagamaan, dan sosial, sehingga umat Islam dapat menghadapi tantangan zaman dengan lebih baik.

    Maka dari itu, KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah di Kauman pada 18 November tahun 1912. Nama ini dipilih sebagai bentuk orang-orang yang beriman pada Nabi Muhammad SAW. Penggunaan kata Muhammadiyah pun dimaknai sebagai penghubung ajaran dan jejak perjuangan dari Nabi Muhammad SAW. 

    Melalui Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan ingin memperbaiki kondisi umat Islam dengan fokus pada pendidikan, pemberdayaan sosial, serta pengembangan kesehatan.

    Beliau juga ingin mengajak para umat Islam di Indonesia untuk hidup sesuai dengan yang diajarkan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Beliau mengajarkannya melalui berbagai terjemahan dan tafsir agar masyarakat tak hanya pandai membaca Al-Qur’an dan Hadits, melainkan juga memahami makna yang ada di dalamnya.

    Ide ini tentunya mendapatkan dukungan positif dari keluarga maupun orang-orang yang ada di sekitarnya. Meski demikian, KH Ahmad Dahlan juga mendapatkan banyak tuduhan dan fitnah.

    Banyak yang menyebut ajarannya menyalahi ajaran Islam. Lebih parahnya, ada yang menyebutnya meniru bangsa Belanda yang beragama Kristen. Hal ini dikarenakan KH Ahmad Dahlan sempat mengajarkan pelajaran agama Islam di sekolah khusus Belanda dan priyayi. 

    Akibatnya, KH Ahmad Dahlan mendapatkan banyak ancaman bahkan teror pembunuhan. Meski demikian, KH Ahmad Dahlan tetap berkeinginan kuat melanjutkan perjuangannya dalam pembaruan Islam di Indonesia.

    Untuk memperkuat Muhammadiyah, KH Ahmad mengajukan permohonan badan hukum pada pemerintah Hindia Belanda. Permohonan tersebut disetujui, namun Muhammadiyah hanya boleh bergerak di Yogyakarta saja.

    Hal ini dikarenakan adanya kekhawatiran organisasi tersebut bisa berkembang luas di Indonesia. Tapi bukan KH Ahmad Dahlan namanya jika mudah menyerah.

    Diam-diam, beliau mendirikan kantor cabang di daerah lain. Agar tidak ketahuan pemerintah Hindia Belanda, KH Ahmad Dahlan menggunakan nama yang berbeda untuk kantor cabang yang ada. Misalnya di Pekalongan bernama Nurul Islam, sedangkan di Ujung Padang namanya Al-Munir.

    KH Ahmad Dahlan terus menyebarkan ajaran Muhammadiyah melalui tabligh dan relasa dagangnya di berbagai kota. Lagi-lagi, beliau mendapatkan respon positif. Pada akhirnya, pemerintah Hindia Belanda menyetujui permohonan KH Ahmad Dahlan untuk mendirikan cabang Muhammadiyah di kota lainnya.

    Sebagai organisasi yang bergerak di bidang pendidikan, tentu saja Muhammadiyah memiliki banyak institusi pendidikan mulai dari universitas, institut, politeknik, sekolah tinggi, hingga akademi. 

    Selain itu, Muhammadiyah juga bergerak di bidang kesehatan dengan adanya rumah sakit umum dan bersalin, balai pengobatan, apotek, hingga balai kesehatan. Sedangkan dari bidang sosial, Muhammadiyah memiliki panti asuhan, balai kesehatan, panti werdha, panti jompo, sekolah luar biasa, hingga pondok pesantren.

    KH Ahmad Dahlan juga semakin rajin meningkatkan berbagai dakwah. Salah satunya, beliau mengajarkan semua ibadah diharamkan kecuali yang ada perintahnya dari Nabi Muhammad SAW. KH Ahmad Dahlan juga mengajarkan berbagai larangan seperti melakukan ziarah kubur, penyembahan dan perlakuan berlebih pada benda-benda pusaka seperti tombak, keris, dan kereta kuda.

    Untuk mendampingi Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Aisyiyah bersama istrinya, Nyai Ahmad Dahlan. Organisasi ini khusus untuk kaum wanita yang turut serta menjadi pendamping kaum pria. 

    Sementara itu, KH Ahmad Dahlan juga membentuk Padvinder atau Pandu yang dikhususkan sebagai tempat pendidikan bagi para pemuda. Mereka diajarkan cara baris-berbaris dengan genderang, serta menggunakan celana pendek, topi, dan berdasi.

    Ajaran ini semakin memperkuat pernyataan bahwa Islam bukanlah agama yang kolot dan tidak ketinggalan jaman. Organisasi ini kini dikenal dengan nama Hizbul Wathan atau H.W.

    KH Ahmad Dahlan bukan hanya memperjuangkan pembaharuan Islam di Indonesia. Beliau juga dikenal karena jasanya demi kemajuan bangsa Indonesia dalam mencapai kemerdekaannya.

    Saat menyebarkan ajaran Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan juga meminta rakyat Indonesia untuk mempelajari banyak hal dan menyadari nasibnya sebagai bangsa yang terjajah.

    Beliau mulai mengejar kemajuan dan kecerdasan rakyat tanpa melupakan dasar dari Islam dan iman. KH Ahmad Dahlan juga ingin para wanita Indonesia mulai mengenyam pendidikan sehingga bisa setara dengan para pria.

    Gagasan-gagasan ini menjadi poin penting dalam memajukan bangsa Indonesia. Hal ini tercantum dalam Keputusan Presiden No. 657 Tahun 1961, yang menjadi surat keputusan Pemerintah Indonesia menganugerahkan KH Ahmad Dahlan gelar kehormatan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

    Perjuangan KH Ahmad Dahlan meninggalkan jejak yang abadi dalam memajukan umat Islam dan membangun bangsa Indonesia. Beliau tetap menjadi sosok yang dihormati dan dikenang sebagai tokoh terkemuka dalam perjalanan panjang Indonesia.